Selamat malam, rekan-rekan...
Ijinkan saya sharing hal yang tidak biasa di blog kami ya...
Hari sabtu kemarin, saya memberanikan diri (tentunya dengan support tak terhingga dari kawan-kawan komunitas) untuk menjadi Moderator Webinar. Webinar dengan tema "Mengenal Berita Hoax, Cara Debunk Mandiri dan Penanganan Oleh Pemerintah" ini diinisiasi oleh Masyarakat Peduli Literasi Digital (Malidi), suatu komunitas mandiri kota Bekasi - berisikan orang-orang dari beragam kalangan yang mempunyai kepedulian akan literasi digital dan efek negatif dari hoax yang kian lama kian meresahkan.
Webinar kali ini mendapat support penuh dari pemerintah kota, Kominfo dan stake holders lainnya, termasuk founder Pesantren Motivasi Indonesia - Kyai Enha. Suatu hal yang membahagiakan bagi kami saat mendapat support yang demikian, mengingat Malidi merupakan komunitas mandiri, tidak berafiliasi dengan pihak manapun. Hal ini juga merupakan suatu bukti keseriusan stake holders akan efek hoax massive dan meresahkan.
Bagi yang kemarin tidak sempat mengikuti, silahkan menyimak catatan momod di bawah ini.
Catatan mbak momod kali ini tentu merupakan kompilasi dari paparan Narasumber yang dikemukakan sabtu kemarin.
Webinar kami dibuka oleh paparan tentang Cyber war oleh pak Kombes Polisi Indarto. Beliau adalah mantan Kapolresta Bekasi yang juga Juara 1 Polisi Teladan tahun lalu. Memaparkan dengan gayanya yang sangat lugas dan tegas. Diawali dengan paparan geo strategis, kondisi regional, sampai ke cyber war, yang tentunya secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh ke kondisi masyarakat pada umumnya. Tindakan tegas, cepat dan pasti harus dilakukan, agar imbul efek jera bagi para pelaku penebar hoax.
Cara pemaparan yang tegas sejalan dengan cara beliau memimpin saat menjadi Kapolres Bekasi dan tentu saja, kami doakan agar hal yang sama terjadi di tugas-tugas berikutnya.
Materi selanjutnya adalah pemaparan singkat mengenai hoax dan cara debunk mandiri. Ada 4 hal yang digarisbawahi oleh Ketum Malidi - Mas Heru Nugroho, mengapa Hoax mudah sekali beredar.
Yang pertama adalah tingkat literasi yang rendah, sehingga headline yang bombastis dianggap cukup mewakili isi berita. Disusul oleh rendahnya kepedulian akan kondisi sosial yang ada, adanya Polarisasi (efek Pilkada/Pilpres) dan media partisan yang seringkali dijadikan rujukan oleh pihak-pihak tertentu.
Keberadaan media partisan menjadi salah satu issue terkuat yang diklarifikasi oleh Kominfo - yang kali ini diwakili oleh Mas Teguh Arifiyadi.
Selama ini, yang beredar di masyarakat adalah lemahnya pengawasan Kominfo mengenai media-media partisan yang justru seringkali dianggap rujukan, lalu tanpa dibaca, disebarluaskan sehingga menimbulkan keresahan.
Pada kesempatan kali ini, Mas Teguh dengan gamblang menjelaskan metode penyaringan yang digunakan di Indonesia. Ada 2 tipe penyaringan konten digital, black list dan white list.
Black list berarti - semua berita masuk, baru disaring. Sedangkan white list merupakan sistim yang menyaring terlebih dahulu semua berita, baru bisa naik tayang.
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi menganut Black List. Hal yang berbeda diterapkan oleh negara-negara dimana kontrol berita dipegang oleh pemerintah. Melihat sistim yang digunakan seperti dikemukakan diatas, maka tidaklah mengherankan bahwa media-media partisan memang memanfaatkan moment tersebut. Hal ini patut di garisbawahi karena merupakan PR kita bersama , agar efek negatifnya dapat diminimalisir.
Satu lagi pertanyaan yang dilayangkan kepada Kominfo mengenai penanganan aduan konten. Suatu fakta yang membuat saya beserta kawan-kawan tidak berhenti menggelengkan kepala. Rata-rata aduan yang diterima kominfo perhari mencapai puluhan ribu. Dengan jumlah 100 staf yang tergabung pada tim ini, tentu kita sekarang paham, bahwa dalam memproses aduan yang masuk , memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kecuali hal-hal yang termasuk isu nasional dan mengancam - Tim Kominfo mempunyai limit waktu 2 jam utk memproses hal tersebut.
Sebagai gambaran, tantangan penanganan hoax di Indonesia adalah sebagai berikut :
Melihat hal ini, tentu semakin jelas bahwa penanggulangan hoax merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan bersama-sama.
Kyai Nurul Huda Haem, yang lebih dikenal sebagai kyai Enha, menegaskan bahwa di tahun 2017, MUI telah menerbitkan fatwa yang mengatur muamalah di sosial media .
Jelas ditegaskan bahwa hal tersebut diharamkan untuk dilakukan. Mengingat fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, maka diharapkan bahwa hal ini dapat dijadikan acuan sebagaimana fatwa2 lainnya yang bahkan ditaati sampai melebihi yang seharusnya. Sebagai warga negara, tentu kepatuhan terhadap pemerintahan yang sah merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Keberadaan UU (Qanun dalam negara Islam) diatas Fatwa adalah hal yang patut diketahui. Sehingga jika berada dalam satu kondisi dimana terdapat 2 hal yang berseberangan, maka UU merupakan hal yang didahulukan, bukan sebaliknya.
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal :
1. Penyebaran Hoax yang massive terjadi karena 4 faktor (yang tidak mengikat) dan rendahnya literasi menduduki poin paling utama, diikuti oleh kurangnya kepedulian terhadap sesama, polarisasi yang terjadi karena dinamika bernegara dan keberadaan media partisan yang sering menjadi rujukan oleh pihak-pihak tertentu
2. Indonesia menganut metode penyaringan "Black List" - dimana semua dapat menyebarluaskan berita baru melalui penyaringan, jika memang timbul keluhan. Hal ini sejalan dengan sistim Demokrasi yang dianut, jelas berbeda dengan negara-negara dimana media sepenuhnya dikendalikan oleh negara. Beberapa media partisan diakui atau tidak memang menggunakan moment2 penting untuk mendulang uang. Menggunakan teknik click and bait, menulis Headline yang tendensius sampai tulisan penggiringan opini adalah hal yang sering ditemui. Banyak hal yang meresahkan timbul karenanya, sehingga, sering kali , tulisan2 di media-media tersebut dilaporkan ke Kominfo. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu hal yang penting untuk membantu menghalau penyebaran hoax yang meresahkan.
3. Tindakan yang tegas, cepat dengan sanksi perlu diberlakukan terhadap penyebar hoax dan/atau ujaran kebencian. Hal ini merupakan sesuatu yang sulit ditawar mengingat penyebaran hoax semakin massive dan mengancam stabilitas nasional.
4. Last but not least, MUI telah mengeluarkan fatwa bagaimana bermuamalah di media sosial. Fatwa dikeluarkan tahun 2017, namun hingga saat ini, masih jauh dari perkiraan bahwa fatwa tersebut dinilai patut diikuti. Sementara itu ada hal diatas fatwa, yaitu UU. Sebagai warga negara, menaati UU merupakan hal yang wajib dilakukan tanpa terkecuali.
Demikian catatan dari kami, dari hasil webinar yang lalu.
Terima kasih atas seluruh atensi yang diberikan.
Mohon maaf lahir dan batin.. :)