Selasa, 22 Juni 2021

Masuk Sekolah Jalur Tahfidz - Quo Vadis, katanya?

 



Judul yang dipilih seksi banget ya... 

Betapa tidak, hal ini sedang sangat panas dibicarakan. Oh well, sudah sejak beberapa tahun lalu sebenarnya. Sampai saat ini data yang saya pernah baca, beberapa universitas sudah menerima mahasiswa dari jalur prestasi hafalan Qur'an sejak 5 tahun lalu. 

Lupakan universitas, bahkan SMA Negeri pun sudah membuka jalur prestasi berdasarkan tahfidz atau hafalan kitab suci.  Hal yang lagi-lagi menimbulkan geger... 

Sebagai ibu dari 2 anak yang bersekolah di Sekolah Islam Terpadu.. hafalan bukan sesuatu yang asing dan aneh... Betapa tidak, setiap hari, kedua anak kami menjalaninya 3x dalam sehari. Hal yang tentu saja - cukup memberatkan untuk mereka yang memasuki masa pra remaja. Oh well, mungkin saya saja yang overthinking.. saya juga satu-satunya yang menolak ide diadakannya ekskul 'pengajian' bagi mereka... 

Hal yang paling saya takutkan adalah ketika anak-anak merasa bahwa quran bukan sesuatu yang mereka butuhkan, melainkan beban.. Saya dan mungkin sebagian dari anda tentu tau, kalau welas asih Gusti Allah jauh lebih besar dari murkaNya... Kita sadar bahwa, kita harus mengajarkan hal yang sedemikian mendasar, agar anak-anak memiliki kesadaran akan rasa welas asih sang Pencipta.. bahwa kewajiban menyembahNya, merupakan wujud kecintaaan serta terima kasih tak terperi juga kebutuhan... dan hal-hal tersebut harus melebihi dari ketakutan akan kemarahan... 

Nah, apa hubungan hal tersebut diatas dengan program tahfidz? 

Program tahfidz yang menjadi unggulan banyak sekolah islam atau pesantren, sebenarnya merupakan salah satu daya tarik utama. Awal-awal menyekolahkan anak2 disana... saya melihat nilai2 yang lain, dari sekadar 'hafalan'. ... 

Orang banyak boleh berkata bahwa menggunakan jalur tahfidz itu bukan sesuatu yang membanggakan, bukan hal yang sulit dilakukan atau apapun...

Oh well, lemme tell you something.. 

Bagaimana jika kita mencoba menempatkan diri kita pada porsi anak-anak...
Mereka menghabiskan setidaknya 90 menit per hari, mengeja satu per-satu, mencoba mengucapkan dengan benar dan baik -  lalu menghafal.. Awal yang merupakan keterpaksaan menjadi sesuatu kebiasaan dan semoga saja menjadi sebuah kebutuhan... 

Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, fenomena menghafal qur'an memang terjadi di Indonesia. Sebuah permulaan yang baik, dan tentu saja kita harapkan status menghafal lama-kelamaan akan menjadi 'memahami'. 

Ingat bahwa selalu ada proses yang terjadi disitu... Awal mengeja, lanjut membaca, lanjut menghafal,.. sejalan dengan itu, mulai memahami... 

Nah... kembali ke program hafalan quran alias tahfidz... 

Menurut njenengan, apakah hal ini merupakan suatu yang mudah dilakukan? 
Jika memang merasa dirugikan, apa bedanya dengan beasiswa terhadap atlit atau hal-hal lain diluar akademis? 

Jika kita memang mau jujur dan adil, seyogyanya hal tersebut bisa dilihat sesuai porsinya. 
Selain itu, program kejuaraan  (dimana tahfidz termasuk salah satu di dalamnya) biasanya merupakan salah satu jalan bagi siswa-siswa yang justru memiliki keterbatasan untuk masuk ke dalam suatu sekolah. 

Di Bekasi sendiri, program tahfidz mendapatkan 1% quota - coba hitung dari ratusan pendaftar, berapa yang kira-kira diterima? Betapa ketatnya persaingan yang harus mereka lewati? 

Kalaupun ada yang mau diperbaiki, ketahuilah bahwa anak2 ini, juga melakukan semua daya upaya yang mereka bisa untuk berprestasi dalam hal ini. Tidak berbeda dengan kawan2nya yang setiap hari sudah latihan agar bisa terus berprestasi dalam kejuaraan, ataupun yang pagi buta sudah siap di lapangan , lanjut ke sekolah, lanjut mengerjakan tugas dll... 

Suara-suara cemoohan, jujur saja cukup mengusik saya.. 
Sebagai seseorang yang sering dituding islam abangan, liberal atau apalah lainnya..  Saya tau pasti bahwa Adil lebih dekat kepada taqwa... Dan saya berusaha mengajukan fakta yang sebenarnya, yang kami alami selama ini. Sungguh tidak benar bahwa anak-anak penghafal quran benar2 hanya sekadar mengetahui kulitnya. Mereka sedang berproses, sebagaimana saya, dan anda... 

Mereka menginvestasikan waktunya... sebagai upaya untuk meraih apa yang dicita-citakan. Dengan kuota yang hanya 1%, anda semestinya paham, apa yang harus dilakukan untuk dapat menembus hal itu. Sistim penerimaan sekolah yang juga sering sekali berubah, merupakan salah satu hambatan bagi banyak orang. Apa anda tau berapa banyak daya tampung SMA N dan berapa banyak lulusan SMP di saat yang sama? Bagaimana jika salah satu cara mereka masuk adalah melalui kuota 1% tersebut? 

Saya menyayangkan banyaknya suara-suara yang dengan semena-mena berkata bahwa jalur menghafal kitab suci tidak adil. Well, kasi solusi dong... kalau memang mau diadakan untuk agama lainnya, saya sangat setuju... sungguh itu solusi yang baik...  

Namun kalau dibilang bahwa menghafal itu mudah, jujur saya tidak sependapat. Karena usaha tiap anak berbeda. Hal yang anda pikir mudah, bisa jadi neraka sulitnya buat banyak orang. Berempatilah sedikit... 

Kalau memang semudah itu menghafal, tentu sudah sangat banyak yang memilih jalan ini kan... 
Nyatanya tidak demikian... Ada pertumbuhan, tapi tentu tidak seperti yang banyak orang pikirkan. 
Saya setuju dengn anggapan memahami lebih penting. No doubt!!! Tapi saya pun percaya bahwa semua berproses... Sementara itu, adil lah bersikap... yang anda pikir hanya menghafal adalah anak-anak yang merelakan waktunya untuk berproses tidak dengan cara yang mudah, sebagai upaya meraih impian mereka. 

Jika ada yang pantas dikritik, tentu saya setuju. Namun menganggap bahwa anak-anak itu tidak layak juga bukan sesuatu yang pantas dibenarkan. Kedudukan mereka sama dengan yang lainnya. Dan semua peluh yang tercipta tentu patut diapresiasi dengan pantas. Kata pantas tentunya relatif namun hal ini tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. 

Di banyak sekolah, nilai tahfidz tidak pernah menjadi penentu, melainkan sebagai plus point. Artinya apa? Ybs tentu harus memiliki nilai yang baik, memenuhi standar persyaratan masuk. Jika keduanya telah dipenuhi, apa mereka masih dianggap tidak pantas untuk masuk? Lalu siapa yang tidak adil? 

Semoga kita semua bisa adil, karena adil lebih dekat dengan taqwa..